PPPK Maju Jadi Calon Kepala Desa Dinilai Langgar Aturan, Berpotensi Ganggu Netralitas ASN dan Picu Konflik Horizontal
Acehantara.com | Gelombang Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) serentak di berbagai daerah kembali diwarnai polemik. Di Provinsi Aceh, sejumlah Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) dilaporkan ikut mencalonkan diri sebagai kepala desa atau keuchik, meski status mereka masih aktif sebagai aparatur negara.
Fenomena ini menuai sorotan dari kalangan pemerhati kebijakan publik dan pakar hukum tata negara, karena dinilai melanggar peraturan perundang-undangan dan prinsip netralitas ASN sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) dan Undang-Undang Desa Nomor 3 Tahun 2024.

Pemerhati kebijakan desa Junaidi Yusuf menilai, keterlibatan PPPK aktif dalam kontestasi politik desa merupakan bentuk pelanggaran serius terhadap netralitas ASN.
“ASN dan PPPK dibiayai oleh negara dan terikat sumpah jabatan. Jika mereka ikut berkompetisi dalam pemilihan keuchik tanpa mengundurkan diri, maka ini mencampuradukkan jabatan birokrasi dengan jabatan politik,” ujarnya di Banda Aceh, Sabtu (25/10/2025).
Menurut Junaidi, tindakan tersebut tidak hanya berimplikasi pada aspek hukum, tetapi juga mengancam keadilan sosial di tingkat akar rumput.
“Pilchiksung adalah pesta demokrasi rakyat di level terendah. Jika dari awal saja ada calon yang melanggar norma dan aturan, maka kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi desa bisa rusak. Ini potensi konflik horizontal yang nyata,” tegasnya.
Dasar Hukum: ASN dan PPPK Dilarang Rangkap Jabatan Politik
Larangan PPPK maju dalam pemilihan kepala desa didasari pada sejumlah regulasi.
Dalam Pasal 33 Ayat (1) UU ASN Nomor 20 Tahun 2023, ASN termasuk PPPK wajib menjaga netralitas dan tidak boleh menduduki jabatan politik.
Kemudian, Permendagri Nomor 112 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Desa menegaskan bahwa ASN yang hendak mencalonkan diri wajib mengundurkan diri secara tertulis sebelum mendaftar sebagai calon kepala desa.
Hal serupa ditegaskan dalam Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pemerintahan Gampong, yang melarang pejabat pemerintahan aktif menjadi calon keuchik.
“Jika PPPK ingin maju, langkah pertama yang wajib dilakukan adalah mengundurkan diri secara resmi. Kalau tidak, maka pencalonan itu cacat hukum dan bisa dibatalkan,” jelas Junaidi.
Kasus di Pidie Jadi Sorotan: Pelantikan Terancam Batal
Kasus nyata terjadi di Gampong Reung-Reung, Kecamatan Kembang Tanjong, Kabupaten Pidie, di mana seorang ASN paruh waktu yang baru lulus seleksi PPPK diketahui ikut mencalonkan diri dan bahkan terpilih sebagai keuchik.
“Jika ia tetap berstatus ASN saat pelantikan, maka keuchik terpilih tersebut berpotensi melanggar hukum dan pelantikannya bisa dibatalkan,” tegas Junaidi.
Camat Kembang Tanjong yang dikonfirmasi menyatakan bahwa pihaknya masih menunggu regulasi teknis dari pemerintah kabupaten terkait status hukum PPPK yang terlibat dalam kontestasi politik desa.
Pakar Hukum: Bisa Terjerat Sanksi Administratif dan Pidana
Pakar hukum administrasi negara dari Universitas Syiah Kuala, Dr. Teuku Hendra, S.H., M.H., menilai bahwa pencalonan PPPK aktif dalam Pilkades dapat berimplikasi pada pelanggaran hukum administratif dan etik ASN.
“Jika terbukti melanggar prinsip netralitas, PPPK bisa dijatuhi sanksi disiplin berat sebagaimana diatur dalam PP Nomor 94 Tahun 2021. Bahkan, bila terdapat unsur penyalahgunaan jabatan atau penggunaan fasilitas negara, bisa masuk ke ranah pidana,” ujarnya.
Menurutnya, kasus ini harus menjadi perhatian Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) agar tidak menjadi preseden buruk dalam tata kelola pemerintahan desa di Indonesia.
Seruan Regulasi Tegas dari Pemerintah Daerah
Junaidi mendesak pemerintah kabupaten/kota di Aceh segera mengeluarkan pedoman teknis tertulis bagi panitia Pilchiksung agar tidak salah langkah dalam memverifikasi calon.
“Panitia harus diberi dasar hukum yang jelas, supaya tidak ada multitafsir antara status PPPK, ASN paruh waktu, dan calon kepala desa. Tanpa pedoman tegas, pelaksanaan Pilchiksung bisa menuai gugatan hukum,” ujarnya.
Ia menegaskan, Pilkades harus menjadi simbol demokrasi yang bersih, bukan ajang pelanggaran etika birokrasi.
“Keuchik atau kepala desa adalah representasi rakyat di tingkat paling bawah. Sudah seharusnya dipilih melalui proses yang jujur, adil, dan tanpa intervensi kepentingan birokrasi,” pungkasnya.
Kasus di Aceh ini dinilai sebagai alarm nasional bagi Kementerian PAN-RB dan Kemendagri untuk segera memperjelas batasan hukum ASN dan PPPK dalam Pilkades.
Selain di Aceh, fenomena serupa juga dilaporkan mulai muncul di beberapa daerah di Sumatera Utara, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Tengah.
Pengamat politik lokal menilai, jika tidak segera diatur secara nasional, maka akan muncul kekacauan hukum dan erosi kepercayaan publik terhadap netralitas aparatur sipil negara.
Kasus PPPK maju sebagai calon keuchik di Aceh menjadi cermin penting bahwa demokrasi di tingkat desa belum sepenuhnya steril dari intervensi kekuasaan birokrasi.
“Negara harus hadir menjamin bahwa jabatan publik, sekecil apa pun, tidak disalahgunakan oleh aparatur negara yang seharusnya netral. Demokrasi desa adalah fondasi utama bagi pemerintahan yang bersih,” tutup Junaidi.






Tinggalkan Balasan