Pelabuhan Krueng Geukueh Ibarat Raksasa yang Belum Diberi Makan, Prof. Apridar: Potensi Besar yang Belum Jadi Kenyataan
Acehantara.com | Banda Aceh – Guru Besar Ekonomi Universitas Syiah Kuala (USK), Prof. Dr. Apridar, S.E., M.Si, menilai Pelabuhan Umum Krueng Geukueh di Aceh Utara memiliki keistimewaan geografis luar biasa, namun hingga kini masih bersifat potensi semata dan belum menjadi kekuatan ekonomi nyata.
“Pelabuhan Krueng Geukueh ini benar-benar istimewa. Letaknya hanya sekitar 150 mil laut dari Penang, Malaysia lebih dekat dibandingkan Belawan atau Tanjung Priok. Tapi sayang, keistimewaan ini masih sebatas potensi, belum menjadi kenyataan,” ujar Prof. Apridar kepada wartawan dalam perbincangan santai di salah satu coffee shop di Bumi Pasai, 3 Oktober 2025.

Menurut Apridar, pelabuhan yang berada di jalur strategis Selat Malaka, salah satu rute pelayaran tersibuk dunia dengan lebih dari 90.000 kapal per tahun seharusnya mampu menjadi pusat logistik barat Indonesia. Namun kenyataannya, pelabuhan tersebut justru belum dikelola secara optimal.
“Pelabuhan ini ibarat raksasa yang belum diberi makan,” ucapnya.
Data Ditjen Perhubungan Laut tahun 2023 menunjukkan volume bongkar muat di pelabuhan tersebut baru mencapai 1,2 juta ton per tahun, padahal kapasitasnya mencapai 4–5 juta ton. Artinya, baru 25 persen dari potensi kapasitas yang digunakan.
Apridar menilai, kendala utama terletak pada infrastruktur, kebijakan, dan konektivitas logistik yang belum memadai. Kedalaman kolam pelabuhan yang hanya 9–11 meter membuat kapal besar sulit bersandar dan harus menunggu air pasang, menambah biaya logistik dan memperlambat arus ekonomi.
Selain itu, fasilitas bongkar muat masih minim, alat berat belum modern, dan sistem manual masih mendominasi. Konektivitas darat ke kawasan industri Lhokseumawe serta hinterland seperti Aceh Tengah dan Timur juga belum terintegrasi dengan baik.
“Jalur kereta belum ada, jalan darat pun sering rusak. Karena itu, eksportir Aceh lebih memilih Pelabuhan Belawan meski jaraknya lebih jauh,” jelasnya.
Akibatnya, berbagai komoditas unggulan Aceh seperti CPO, kopi Gayo, karet, dan hasil perikanan harus dikirim lewat pelabuhan luar daerah untuk menjangkau pasar internasional.
Gagasan Gubernur Aceh H. Muzakir Manaf untuk menjadikan Krueng Geukueh sebagai gerbang ekspor utama ke Malaysia, menurut Apridar, merupakan langkah strategis. Namun, visi besar itu membutuhkan tindakan konkret di tiga bidang utama: infrastruktur, kelembagaan, dan spiritualitas pembangunan.
Langkah pertama yang mendesak, katanya, adalah pengerukan kolam pelabuhan agar kedalamannya mencapai 14–16 meter, sehingga dapat disandari kapal berkapasitas 20.000–50.000 DWT.
“Ini harus menjadi prioritas dalam APBN, APBA, atau melalui skema KPBU,” tegasnya.
Ia juga menyoroti pentingnya digitalisasi pelabuhan melalui investasi container crane, mobile harbor crane, serta penerapan sistem digital Port Community System agar layanan menjadi cepat, efisien, dan transparan.
“Krueng Geukueh harus terkoneksi dengan jalan tol Lhokseumawe–Langsa–Kuala Simpang dan jalur kereta api Trans-Sumatera. Dengan begitu, biaya logistik bisa ditekan hingga 30–40 persen,” tambahnya.
Sebagai daerah bersyariat Islam, Apridar menekankan bahwa pembangunan pelabuhan harus berpijak pada nilai-nilai syariat. Ia mendorong pembentukan Kawasan Logistik Terpadu (KLT) di sekitar pelabuhan berbasis Halal Hub dengan fasilitas cold storage, gudang halal, pusat sertifikasi halal, dan layanan ekspor syariah.
“Krueng Geukueh bisa menjadi pelabuhan syariah pertama di Indonesia. Ini bukan hanya proyek ekonomi, tapi juga proyek moral untuk kemakmuran umat,” ujarnya optimistis.
Malaysia merupakan mitra dagang alami Aceh. Berdasarkan data BPS, negeri jiran tersebut menyerap sekitar 60 persen ekspor nonmigas Aceh, terutama CPO, kopi, ikan, dan karet.
Apridar menilai, membuka jalur pelayaran cepat (fast ferry dan Ro-Ro) antara Krueng Geukueh–Penang atau Krueng Geukueh–Kuala Perlis akan membuka peluang besar di sektor logistik dan pariwisata halal lintas negara.
“Bayangkan jika kopi Gayo, ikan asin Pidie, kerajinan Aceh Besar, hingga pala Simeulue bisa langsung diekspor ke Malaysia tanpa perantara. Krueng Geukueh akan menjadi lokomotif pemberdayaan ekonomi rakyat,” tegasnya.
Wajah Baru Kebangkitan Ekonomi Aceh
Di akhir perbincangan, Prof. Apridar menyerukan agar pemerintah Aceh segera menghidupkan kembali potensi besar Krueng Geukueh. Ia menegaskan, pelabuhan ini dapat menjadi penggerak utama ekonomi rakyat, membuka lapangan kerja baru, meningkatkan PAD, serta memperbaiki citra Aceh sebagai daerah terbuka, maju, dan Islami.
“Aceh bukan sekadar wilayah geografis. Ia daerah istimewa dengan landasan syariat Islam. Maka, pembangunan pelabuhan ini harus bersih dari praktik ribawi, suap, dan korupsi,” katanya.
Apridar menutup perbincangan dengan penuh makna:
“Krueng Geukueh bisa menjadi ‘Bandar Syariah’ pertama di Indonesia — simbol bahwa Aceh mampu bangkit tanpa kehilangan jati diri. Jangan biarkan raksasa ini terus tidur. Saatnya membangunkan Krueng Geukueh untuk kemakmuran yang berkah, berdaulat, dan berpihak pada umat. Aamiin.”
