Illiza Tegas Tertibkan Baliho Tak Berizin di Banda Aceh: “Bukan Asal Bongkar, Semua Berdasar Aturan”
Acehantara.com | Banda Aceh – Wali Kota Banda Aceh Illiza Sa’aduddin Djamal menegaskan bahwa langkah penertiban baliho dan billboard raksasa di sejumlah titik Kota Banda Aceh bukanlah tindakan semena-mena, melainkan kebijakan yang berlandaskan aturan hukum dan tata kota. Terbaru, baliho raksasa yang berdiri di depan Suzuya Simpang Lima menjadi salah satu objek penertiban yang dilakukan pada Minggu dini hari, 7 September 2025.
Langkah tegas tersebut sempat menuai protes dari Direktur Utama PT Multigrafindo Mandiri, Simson Tambunan, yang menilai penertiban tersebut melanggar perjanjian sewa lokasi yang berlaku hingga 2026. Menurutnya, pembongkaran baliho di kawasan strategis Simpang Lima merugikan perusahaan secara materi maupun nonmateri.

Namun, Pemko Banda Aceh membantah klaim tersebut dan menegaskan bahwa tindakan penertiban dilakukan sesuai ketentuan perjanjian serta regulasi yang berlaku. Dalam penjelasannya, Wali Kota Illiza menyebutkan bahwa kontrak kerja sama dengan perusahaan reklame tersebut telah memasukkan klausul yang jelas mengenai pembongkaran baliho.
“Sesuai dengan SPK tahun 2006, pasal 10 menegaskan bahwa jika dalam perencanaan kota atau masterplan tidak dibenarkan lagi adanya papan billboard pada suatu lokasi, maka pihak kedua wajib membongkar dan menanggung seluruh biaya pembongkaran tersebut,” jelasnya.
Selain itu, Illiza menegaskan bahwa izin reklame yang dimiliki PT Multigrafindo Mandiri telah berakhir sejak April 2025 dan tidak diperpanjang. Pemerintah Kota Banda Aceh juga menemukan bahwa pajak reklame untuk periode Mei hingga September 2025 belum dilunasi, dengan tunggakan mencapai sekitar Rp87 juta.
“Pembayaran izin titik bukanlah izin pendirian billboard. Izin sewa titik adalah salah satu syarat untuk mendapatkan izin pendirian billboard, bukan otomatis perpanjangan izin. Jadi secara hukum, baliho tersebut tidak memiliki legalitas untuk tetap berdiri,” tegas Illiza.
Lebih jauh, penertiban baliho raksasa di Simpang Lima juga mengacu pada Pasal 18 ayat 3 Permen PU Nomor 20/PRT/M/2010 tentang Pedoman Pemanfaatan dan Penggunaan Bagian-bagian Jalan, yang secara tegas melarang pemasangan baliho melintang jalan (bando).
Upaya Persuasif dan Penawaran Lokasi Baru
Pemerintah Kota Banda Aceh melalui Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) telah beberapa kali menyurati pihak perusahaan reklame untuk melakukan pembongkaran mandiri, namun imbauan tersebut tidak diindahkan hingga batas waktu yang diberikan. Bahkan, Pemko Banda Aceh telah menawarkan titik lokasi baru untuk pemasangan baliho yang sesuai dengan tata ruang kota, namun tawaran tersebut tidak direspons secara positif oleh pihak perusahaan.
“Kami tidak menutup ruang untuk investor atau pengusaha reklame. Justru, kepastian hukum dan aturan yang tegas akan menciptakan kenyamanan dan iklim investasi yang sehat. Kota yang tertata dan memiliki regulasi jelas bukan hambatan, melainkan jaminan usaha yang aman, lancar, dan berkelanjutan,” tegas Illiza.
Penataan Kota Demi Wajah Banda Aceh
Penertiban baliho ini menjadi bagian dari langkah besar Pemko Banda Aceh dalam melakukan penataan ruang kota, termasuk mengurangi visual clutter akibat baliho-baliho besar yang kerap mengganggu estetika dan keselamatan pengguna jalan. Illiza menekankan bahwa Kota Banda Aceh harus memiliki wajah kota yang rapi, tertib, dan ramah investasi.
“Kami tidak ingin wajah kota ini semrawut. Banda Aceh adalah ibu kota provinsi dan pusat peradaban. Tata kota yang bersih dan tertib akan menjadi daya tarik wisata dan investasi. Semua tindakan kami berorientasi pada kepentingan bersama,” pungkasnya.
